"Menjeremba Pada Alam Anggara, Afsun Gunung Sumbing, Matur Suwun"

Hari ini, Kamis, 1 Juli 2021. Lebih tepatnya pagi-pagi buta, ba'da shalat subuh. La salam wala kalam yaa sujana. Jadi gini, Aku mendapatkan pesan dari seorang teman berupa postingan instagram dari akun instagram Gunung Sumbing via Adi Puro, Wonosobo, Jawa Tengah. 

"Wadooh, bagaimana ini der?" Seorang teman merasa panik, yang kebetulan kita akan melakukan keberangkatan 2 jam lagi. Packing sudah rapi, surat keterangan sehat sudah kami miliki untuk memenuhi persyaratan bertransportasi, bahkan kami sudah membeli tiket transportasi. Semuanya sudah dipersiapkan dengan matang. 

Lantas, aku segera menghubungi admin sosial media Gunung Sumbing via Adi Puro, untuk meminta keringanan kepada pihak basecamp agar kami tetap melakukan pendakian dengan beberapa alasan yang kuat. Heemm.. apadaya, pihak basecamp tetap tidak mengizinkan dengan berdalih "Ini sudah peraturan daerah".

Sontak aku teringat kepada seorang pria yang berprofesi sebagai Porter yang kutemui pada saat aku melakukan pendakian di Gunung Merbabu. Perawakannya gagah, gaya potongan rambutnya cepak, kita panggil saja beliau mas Ridho. Rumahnya di daerah Nepal Van Java yang kebetulan dekat dengan basecamp Gunung Sumbing via Adi Puro. Dan alhamdulillah-nya aku memiliki nomor Whatsapp beliau.

"Assalamualaikum mas do, bagaimana kabarnya, baik? Alhamdulillah kalau baik" ay kol no WhatsApp mas Ridho.

Karena kita menganut budaya timur, yaah sekiranya basa-basi dulu itu sudah biasa. Walaupun sedang terburu-buru. "Jadi gini mas, aaa aaa aku dan 2 orang temanku sudah rapi packing nih mas, sudah beli tiket juga. Eh Sumbingnya malah tutup. Huh, kira-kira gimana nih mas?" 

"Yooo waalaikumsalam, ndak masalah, datang saja. Biar aku kontak orang-orang di basecamp, kebetulan aku sedang berada di Yogyakarta pada saat ini. Jadi, maaf jika aku tidak bisa menemani kalian untuk bersilaturahmi dengan Sumbing" 

Setelah mendengar jawaban seperti itu, tanpa ragu kami langsung berangkat ke terminal untuk keberangkatan. Percayalah, manusia hanya dapat berencana, orang dalem yang menentukan (the power of ordal). Yakin.

Berangkat dari terminal Pondok Cabe, Tangerang Selatan. Tidak ada yang dapat diceritakan pada saat perjalanan. Sekoyong-koyongnya sudah sampai terminal Mandolo, Wonosobo Jawa Tengah, aku tidur soalnya, ngantuk aku mah habis begadang.

Sesampainya di terminal Mandolo, kami langsung disambut oleh mas Adi, mas Adi ini yang menghantarkan kami dari terminal menuju basecamp, estimasi sekitar 3 jam perjalanan. Sepanjang perjalanan kami disajikan pemandangan yang indah berupa senyuman para petani. Ramah tamah, inilah Indonesiaku, budaya sapa dan do'a kental di DESA, sekali lagi DESA.

"Masnya konconya Ridho yah?" Tanya Pakde Bahri ketika kami sampai di basecamp. 

"Iyah Pakde betul, ngomong-ngomong, mas Ridhonya kemana Pakde?" Apakah ini yang dinamakan ironi Socrates? Ilmu bidan, hheu hheu.

"Ohhh, Ridho sedang berada di Yogyakarta sejak kemarin. Yasudah istirahat dulu, mau naik kapan?" 

"Insyaallah sebentar lagi nih Pakde, kita mau packing ulang, setelah rapi langsung kita berangkat".

Dalam pendakian itu, bukannya lelah melawan egosentrisme yang kerap membutakan, aku malah lelah melawan kekonyolan yang tidak memikirkan konsekuensi atas sikap diri sendiri.

Lantas di tengah perjalanan, aku tak dapat rasa lelah yang menyegarkan sebagaimana yang selalu aku alami pada pendakian-pendakian sebelumnya, melainkan rasa lelah yang menyakitkan. Kepala pusing, badan terasa berat sekali, hingga muntah-muntah di track.

Mungkin jika alam dapat bicara, barangkali pada saat itu ia akan berbisik : makanya jangan banyak begadang bos!!

Setelah melakukan tujuh jam perjalanan, akhirnya kami sampai pada camp area via Adi Puro. Letaknya di tengah-tengah pos 3 dan 4, lebih tepatnya setelah tanjakan putus asa dan tebing alon-alon. 

Karena sore sudah dimadu gelap dan siang pun ditalak sepi, belum sempat meluruskan kaki, dengan sergap kami langsung mendirikan tenda. Perlu diperhatikan, pemilihan lahan untuk mendirikan tenda itu penting bagi para pendaki, usahakan jangan di lahan yang terbuka, karena itu akan menggelar karpet merah untuk angin menghantam lebih keras. "Akh, sudah seperti pendaki mantap saja, padahal gaya doang sebakul". Begitu kira-kira yang ada di benak temanku yang budiman. Uhuy!!

Tenda telah tegak berdiri, tempatnya lumayan strategis, letaknya di samping pohon edelweis, dibalik batu besar, dan view-nya langung menghadap ke wajah Gunung Merbabu dan Merapi.

Malam itu merupakan malam yang cukup cerah, betapa gagahnya Gunung Merbabu dan Merapi seakan sedang memperhatikan. Jika diimajinasikan, sepertinya mereka sedang merumpi : "Dasar bocah meriang" (aku yang sedang kedinginan). 

Milky way indah nian temanku sujana, rasanya pendek sekali, ingin menyengget namun tak sampai. Ah, melihat bawah sudah samanya, seakan langit menjadi cermin Jawa Tengah! (Iya tau, ngga semua). Beneran, gaboong, ingin memberi bukti lewat foto tapi hapenya jelek, fotonya hitam semua, tak beda dengan dalam kamar saat lampu dimatikan.

Malam itu merupakan malam pertama dalam pendakian. Di antara gelas berbahan alumunium berisi teh jahe kunyit, tersaji mie instan goreng yang dilumuri lafonte (mie instan, lho. Bukan spaghetti). Tingkat kematangannya sedang, nggak kelembekan atau kekerasan. Namun sebagaimana keseringan orang katakan, "Makanan dan minuman di atas gunung terasa nikmat". Yaa kalau boleh jujur sih nggak, btw jujur kan wajib!

Di antara tubuh yang dragdagdregdeg karena tusukan dingin, kibow menciptakan percakapan yang barangkali menggelikan bagi sebagian orang. "Nah ini yang aku inginkan, disini aku merasa bebas"

"Akh, bukannya kau selalu menginginkan kebebasan dari siapapun?"

"Sangat, mungkin karena aku tidak memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin!"

"Apakah itu sebuah pelarian atas ketidakberdayaan? Atau jangan-jangan kau tidak ingin diperintah seperti mazhab yang sering kau bicarakan dari buku yang kau baca. Yaaa anggap saja Anarkis!"

"Nih lihat!" Si Kibow membuka dompet memperlihatkan KTP dan BPJS, memvalidasikan bahwa dirinya bukan penganut mazhab Anarkis.

"Lalu mengapa kau selalu menaruh sikap skeptis terhadap kekuasaan? Bukankah kau mengakui nilai-nilai demokrasi?"

"So pastieee! Walaupun setiap pemilu aku memilih untuk golput atau datang hanya sekadar merusak suara. Pastinya aku punya alasan yang kuat untuk itu" sebenarnya alasan yang sangat kuat mengapa Kibow memilih golput adalah = Kesiangan waktu pencoblosan.

"Apakah kita akan mendapatkan kebebasan terlepas dari gangguan kekuasaan? Sebab, kuasa negara sudah meng-inflasi ke segala penjuru, eits hati-hati, bahkan kau dipantau sampai ke dunia maya" (baca : gugel, polisi virtual. hlm empatpuluhbelas).

"Entahlah, aku pikir haus kebebasan lebih mendingan ketimbang haus kekuasaan!"

"Yasudahlah Bow, sebaiknya kita masuk kedalam tenda, bukankah nanti pagi-pagi buta kita akan naik ke puncak untuk summit attack!

Kami segera masuk ke dalam tenda untuk tidur, mereka dengan sergap masuk kedalam sleeping bag agar tetap hangat. Dan seperti dipendakian sebelum-sebelumnya aku tidak pernah menggunakan sleeping bag saat tidur di gunung. Entah mengapa, aku tidak begitu nyaman jika tidur menggunakan sleeping bag, justru aku malah lebih nyaman menggunakan sarung, yaahh walaupun dinginnya lebih menusuk.

Keesokan harinya, Jum'at, 6 Juli 2021.-------------

Komentar

Postingan Populer