"Jalan Ninja Si Absurd II".

Assalamu’alikum wr.wb.

Fajar peradaban telah dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan barangkali silamnya matahari peradaban akan mendengar manusia yang terakhir merintih, “Mengapa? Dari manakah aku berasal dan kemanakah aku menuju?

“tentang hakikat kebahagiaan, tentang jiwa dan rasio, lebih dari cukup untuk mengambil sebuah hikmah untuk dijadikan pijakan dalam kehidupan era kekinian (Garvey, 2010)”.

Waktu kecil aku bercita-cita menjadi seorang ninja, seperti ninja Hattori yang ada di chanel TV anak-anak spacetoon waktu itu. Aku ingin seperti ninja Hattori karena hanya mendaki Gunung dan melewati Lembah. Asyik, bukan? Tentu, masa kanak-kanak selalu menyenangkan. Kita bebas melakukan apa saja yang dikehendaki. 

Namun, setelah mengenal sosok Uzumaki Naruto, aku segera mengubah jalan ninjaku. Aku tidak lagi ingin seperti ninja Hattori yang hanya mendaki Gunung dan melewati Lembah. Akan tetapi aku bermimpi menjadi seorang pahlawan yang menyelamatkan tanah airku. Seperti Uzumaki Naruto yang menjaga  kedaulatan “Negara Api” dari serbuan organisasi ekstrim yang bernama Akatsuki.

Hmm, apa daya? Ninja hanya ada di Negeri Sakura. Jikalau ninja ada di Indonesia itu hanya tukang ronda yang menutupi kepalanya menggunakan sarung. Atau anak-anak yang berangkat shalat tarawih ketika bulan Ramadhan. Dan sialnya aku gagal menjadi squad Avangers. Karena seri terakhirnya sudah selesai, pupus sudah!

Baiklah sekarang aku sadar dan terbangun dari mimpi panjang setelah disiram air oleh ibu karena harus menunaikan perkuliahan kelas pagi. Sering kali kita sebagai mahasiswa mengeluh karena banyaknya tugas yang diberikan oleh sang dosen. Padahal, kehidupan mahasiswa pasti di selimuti tugas dan penelitian. Terkadang kita begitu egois hanya mengambil hal yang menyenangkan saja, seperti tidak menyetor tugas yang diberikan. Tetapi terkadang kita tidak tahu diri menginginkan nilai yang besar. Dasar aku haha...

Kini jalan ninjaku sebagai mahasiswa kesejahteraan sosial, yang nantinya akan menjadi pekerja sosial. Menurut kemensos, pekerja sosial adalah profesi pemberian bantuan untuk menyelesaikan masalah, pemberdayaan dan mendorong perubahan sosial dalam interaksi manusia dengan lingkungannya pada tingkat individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Begitu kata kemensos, pertanyaan yang masih melayang-layang dalam benak adalah mengapa yang menjadi langganan korupsi adalah mentri sosial? Ups hikshikshiks...

Namun bicara mengenai sejahtera, apakah aku sudah sejahtera sekarang? Menurut hematku, yang menjadi barometer kesejahteraan tidak terpaku hanya kepada materi, bahagia dalam kesederhanaan materi asal orang itu dapat memaknai hidupnya sendiri, merasa aman, dan terpenuhnya kebutuhan spiritual.

Memang rasanya sulit menciptakan formula tunggal meraih kebahagiaan. Kebahagiaan adalah efek samping ketika seseorang memaknai hidupnya sendiri, dan meraih makna itu. Contoh seperti yang saya beri judul “Bagai Lampu Merah”. Ya, pekerjaan yang bisa dibilang gak fun. Panas gini, peluh keringat. Jauh dari suasana co-working space ber AC, ditemani kopi ala itali. Alhamdulillah..

Pada intinya akan selalu ada nilai, selalu ada yang tidak biasa dalam keseharian kita yang terlihat biasa-biasa saja. Manakala yang membuat hidup menjadi berarti dan layak untuk dihidupi. Begitu kata Socrates.

Kembali lagi kepada jalan ninja sebagai mahasiswa kesejahteraan sosial, kini aku dihadapkan dengan masalah-masalah sosial di Indonesia yang seakan tak ada habisnya. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, terus berupaya mencarikan solusi terbaik. Sayangnya, sejauh ini usaha yang dikerahkan belum tampak berhasil menyelesaikan persoalan yang ada. Potret kesenjangan sosial, diskriminasi, kriminalitas, hingga sederet permasalahan sosial yang lainnya masih saja terus menggema. Tingginya eskalasi konflik primordial juga turut menambahkan daftar panjang persoalan selama ini.

Harapan agar republik ini terbebas dari lilitan masalah terus digaungkan dari ujung Papua hingga Sumatra. Suara asa itu kini bahkan terasa kian redup lantaran kegagalan yang terus dipertontonkan oleh segenap aparatus pemerintah dalam membedah persoalan.

Hingga saat ini dan nanti aku masih akan terus belajar, karena filosofis belajar adalah proses yang memastikan kita dari tidak tahu menjadi tahu. Berpengetahuan adalah hasil dari sebuah belajar, dan perubahan tersebut kita dapat mengubah diri kita maupun orang-orang di sekitar kita. Seseorang yang miskin dan mendapat pendidikan layak berkesempatan untuk mendapat pekerjaan yang penting dan bisa berkompetisi dengan orang lain. Melalui proses belajar yang tekun dan rajin orang dapat mengangkat martabat dirinya dan orang lain. Esensi filosofis dari belajar adalah perubahan. (Baca : Logika Kritis Filsuf Klasik, hal. 212).

“Banyak orang yang ingin berbeda, apakah sebanyak itu orang yang siap dengan keterasingan? Sudah saatnya kita memegang kendali. Berani beda, siap diasingkan”. Tapi jujur, aku sendiri pun belum siap untuk diasingkan, monggo yang mau. Jujur kalian keren... Hikshikshiks 

Tunggu “Jalan Ninja” selanjutnya yang tidak jelas juntrungannya. Kritik dan saran yang membangun dari teman-teman adalah hal yang paling berharga agar aku dapat lebih baik lagi dalam penulisan kelak.

Tolong, Maaf, dan Terimakasih.
Wassalamu’alaikum wr.wb.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer